Kamis, 31 Januari 2013

Iblis Sang Juru Kunci Surga



Iblis Sang Juru Kunci Surga

di masa sebelum Alloh swt menciptakan makhluk berjenis manusia,ada satu jenis makhluk Alloh swt dari bangsa malaikat yang bernama iblis.ia telah mendapatkan tempat yang utama di sisi Alloh swt.kedudukan ini di peroleh karena 185.000 tahun,ia pergunakan untuk berbakti ke hadirat Alloh swt. Dirinya benar-benar mencapai tingkat tawadhu tinggi kepada Alloh SWT. Tanpa sedikitpun menyombongkan diri,dia tunduk,khusyu,pasrah atas tata aturanNYA. Segala potensi ia kerahkan untuk mujahadah bertaqorrub kepada Alloh swt

prestasi ibadahnya sungguh luar biasa,ia merupakan malaikat dengan prestasi yang jauh lebih tinggi di bandingkan dengan seluruh bangsa malaikat lainnya.bahkan karena kualitas mujahadahnya,ia dipercaya Alloh swt selama 40.000 tahun untuk menjadi juru kunci surga,80.000 tahun beribadah bersama-sama malaikat, 20.000 tahun menjadi dosen para malaikat,30.000 tahun menjadi rajanya malaikat karubiyyin,14000 tahun berthowaf mengelilingi arasy,1000 tahun menjadi pemimpin segala ruh.
Kualitas iblis dalam ketawadhuan belumlah mencapai puncak.hingga Alloh swt menguji kehebatan pengabdiannya.saat itu Alloh swt memerintahkan bangsa malaikat untuk bersujud kepada adam a.s, makhluk yang baru saja Alloh swt ciptakan.maka semuanya pun bersujud,kecuali iblis. iblis enggan untuk melakukannya karena tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Iblis yang merasa sebagai makhluk senior menganggap dirinyalah yang harus dihormati,bukan sebaliknya.keengganan ini bukan tanpa sebab ,iblis merasa lebih mulia daripada adam a.s. ia merasa punya kelebihan dalam hal asal mula ia di ciptakan . itulah pengakuannya ketika di Tanya oleh Alloh swt, mengapa dia menolak sujud kepada adam a.s .seperti yang tercantum dalam al-qu’an yang artinya,”aku di ciptakan dari api sedangkan adam dari tanah.”(q.s al-a’raf:12).

Dosa yang disebabkan karena pembangkangan diri iblis ini merupakan dosa yang pertama kali dilakukan makhluk kepada kholiknya.itu pulalah yang menjadi sumber dan benih penyakit yang kemudian menular atau ditularkan kepada manusia.penyakit itu menjalar begitu cepat,sehingga pada generasi manusia yang kedua saja dosa serupa sudah terulang.sejak saat itu pula iblis terusir dari kebersamaannya dengan Alloh swt dan setiap saat bergentayangan mencari manusia untuk di jerumuskan.

Kekayaan,kekuasaan,kedudukan atau jabatan umumnya menjadi sumber timbulnya kesombongan.selain itu anugerah berupa kepandaian atau kecantikan dapat pula menjadi penyebab terjangkitnya seseorang dengan kesombongan. Siapakah gerangan orang yang sombong itu?orang yang sombong adalah mereka yang menolak kebenaran,merendahkan orang lain,merasa tinggi dari orang lain,mengingkari hak-hak orang lain dan bertindak sewenang-wenang dengan menganiaya orang lain.

Kesombongan membuat orang yang telah Alloh muliakan menjadi hina ,yang telah Alloh anugerahkan kelebihan,derajat yang tinggi,itu semua menjadi tidak berkah dan malah menghancurkan kemulian itu sendiri,kesombongan membuat kita di jauhi oleh semua orang dan yang lebih berbahaya lagi di murkai oleh Alloh swt.

ya Alloh semoga kami terhindar dari penyakit kesombongan dan di jauhkan dari penyakit ini. Amin. .....

 Waallohu 'Alam

Nabi seorang pemimpin sejati.



Nabi Muhammad saw adalah sosok seorang pemimpin sejati.


Nabi Muhammad saw adalah sosok seorang pemimpin sejati.

Nabi  saw adalah suri tauladan (uswatun khasanah) contoh yang baik bagi semua manusia di bumi ini,beliau adalah sosok seorang pemimpin yang teladan. baik di dalam rumah tangganya maupun dalam memimpin umat islam pada umumnya.ini tergambar dari sebuah hadist yang di riwayatkan dari abu salamah r.a yang isinya berikut ini:


“aku telah bertanya kepada abu sa’id al-khudlri r.a, apakah yang kamu lihat mengenai perkara yang di buat-buat oleh manusia dari makanan ini, minuman ini, dan tunggangannya?”. dia berkata wahai anak saudaraku, makanlah karena alloh, minumlah karena alloh, berpakaialah karena alloh, naik kendaraanlah karena alloh, dan layanilah keluarga di rumahmu dengan pelayanan sebagaimana nabi saw,menangani rumahnya.

Beliau saw memberi makan unta, menyapu rumah, memerah susu kambing, menambal sandal, menambal pakaian, makan bersama pelayan, membuat tepung bersama pelayan ketika pelayannya lelah, membeli barang kebutuhan dari pasar.beliau saw tidak malu karena hal itu.nabi saw membawanya dengan tangan beliau sendiri , memasukkannya kedalam pakaiannya sendiri dan memberikannya kepada keluarga beliau.

Nabi saw bersalaman dengan orang yang fakir dan orang yang kaya, nabi saw yang memulai memberi salam kepada orang yang menghadap kepada nabi saw, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua, baik orang yang berkulit hitam maupun orang kulit putih, baik orang yang merdeka maupun hamba sahaya, yaitu ahli salat. nabi saw tidak mempunyai pakaian yang khusus untuk di dalam rumah maupun di luar rumah (sama saja) nabi saw tidak malu untuk datang ke undangan jika beliau di undang walaupun orang yang mengundangnya adalah orang miskin (kusut rambutnya dan berdebu). nabi saw tidak menghina makanan yang di suguhkan kepada beliau saw, walaupun tidak menemukan sedikitpun makanan kecuali sedikit kurma yang jelek.

Nabi saw tidak pernah menyimpan makanan pagi untuk malam dan tidak menyimpan makanan malam untuk pagi, hingga 9 ahli rumahnya tidak mempunyai bubuk roti dan seteguk suwaek pun (jenis minuman). nabi saw adalah orang yang mudah biaya hidupnya, lembut pembawaannya, mulia tabiatnya, bagus pergaulannya, berseri-seri wajahnya, suka tersenyum tanpa tertawa terbahak-bahak, jika sedih tidak muram, nabi saw selalu tawadhu (merendahkan diri) tanpa kehinaan murah hati tanpa berlebihan, kasih sayang kepada setiap orang muslim, nabi saw lembut hatinya, selalu menundukan kepala, tidak pernah bermalam dalam keadaan kenyang dan tidak pernah mengulurkan tangannya agar di beri.

Lalu abu salamah pergi untuk menemui istri nabi saw yaitu aisyah ra.dan menceritakan apa-apa yang di ceritakan tadi oleh abu sa’id maka aisyah pun berkata,abu said tidaklah salah satu huruf pun (sepatah kata). tetapi dia telah meringkas perkara tentang rasululloh saw , lalu aisayah pun menambahkan, rasululloh saw tidak pernah kenyang, nabi saw tidak pernah menyiarkan pengaduan (tidak pernah mengadu) kefakiran lebih di sukai olehnya dari pada kecukupan dan kemudahan, nabi saw salat dalam keadaan lapar, pada malam harinya membaca al-qu’ran seluruhnya hingga pagi hari dan hal itu tidak menghalanginya dari salat dan saum (puasa ) di siang harinya.

Seandainya nabi saw memohon kepada alloh swt agar mendapatkan gudang-gudang bumi dan buah-buahannya pada pagi dan sore, dari mulai masyrik sampai magrib, niscaya nabi saw akan mendapatkannya. kadang-kadang aku menangis, karena sayang kepada beliau saw. Karena aku melihat beliau lapar dan aku mengusap perut nabi saw dengan tangan ku sendiri dan aku mengatakan kepada nabi saw ”wahai kekasihku, jika tuan mengambil bekal untuk sekedar menahan lapar (tentu tuan tidak akan merasa lapar).

Nabi Muhammad saw bersabda kepada ku,”wahai aisyah, sesungguhnya saudara-saudara ku yaitu ulul azmi dari utusan alloh swt. sabar terhadap perkara yang lebih berat dari pada ini mereka telah bersabar dan telah mendahului kepada tuhan mereka.oleh karena itu tuhan memberi kemulian dengan tempat tinggal bagi mereka dan dia melimpahkan pahala bagi mereka. maka aku malu jika bersenang-senang dalam kehidupan hingga dia akan menahanku berada di bawah mereka.

Oleh karena itu bersabar pada hari-hari yang mudah ini  lebih di sukai oleh ku daripada dia mengurangiku dan aku ingin menyusul saudara-saudaraku,wahai asiyah.

Aisayah berkata setelah beliau saw mengatakan hal itu dan sebelum rasululloh saw melewati 2 jum’at alloh swt mewafatkan beliau saw.

tanda orang yang pandai



Tanda Orang Yang Pandai

tanda orang yang pandai

tanda orang yang pandai adalah orang yang mampu menggunakan akalnya dengan benar dan mampu memanfaatkan kesempatan yang di anugrahkan kepadanya juga usianya untuk beribadah dan mencari keridhoan alloh swt.

abdullah bin umar r.a bersama sembilan orang sahabatnya menghadap rasululloh saw.salah seorang di antara mereka bertanya,"ya rasululloh,siapakah orang yang paling pandai dan mulia itu?" dengan lemah lembut rasululloh saw menjawab,"orang yang paling banyak mengingat mati dan yang paling keras mempersiapakan diri menghadapinya.mereka inilah orang-orang yang paling pandai.mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat."

mengapa rasululloh saw menyebutkan bahwa tanda orang seperti itu sebagai tanda orang yang paling pandai? jawabannya adalah karena orang tersebut pandai memanfaatkan kesempatan dan jatah usianya untuk berbakti,beribadah,berbuat baik,dan mencari keridoannya dalam hidup di dunia ini.

dalam segenap aspek kehidupannya dia akan berusaha untuk menggapai keridhoan alloh swt.rasululloh saw bersabda:" tidak akan celaka seorang hamba pada hari kiamat,sehingga ia di tanya mengenai 4 perkara.tentang usianya di pergunakan untuk apa?tentang masa mudanya diisi dengan perbuatan apa?tentang hartanya dari mana diperoleh dan di gunakan untuk apa saja?tentang ilmunya,telah ia manfaatkan  untuk apa?" (h.r. ath thabrani.)

khalifah umar bin abdul aziz berkata:,"tidaklah kalian tahu,bahwa pada hakikatnya kalian sedang bersiap-siap untuk menghadap alloh setiap hari,entah pagi atau petang.seseorang telah dimatikan oleh alloh dan harapannya pun di potong.lalu kalian meletakan jasadnya di perut bumi,berselimut tanah,berpisah dengan orang -orang yang di cintai dan siap menghadapi hisab."

agar diri kita senantiasa siap menghadapi kematian yang setiap saat dapat merenggut kita ,maka menghidupkan hati dan berdzikir merupakan kuncinya.upaya ini dapat tercapai dengan melalui talqin dzikir dengan kalimat tauhid agar kemudian tertanam dalam hati kita, sebuah penghayatan yang mendalam mengenai keesaan alloh swt.

berkenaan dengan pentingnya talqin kalimat tauhid rasululloh saw bersabda:artinya,"talqinkan kepada orang-orang yang akan mati,kalimat  laa illaaha illaloh" (h.r. muslim dan ahli hadist yang empat)

talqin jangan hanya dilakukan terhadap orang yang sadang sekarat saja karena mungkin saja hal itu takkan banyak membantu saat sekarat tiba.dengan melakukan talqin sejak dini, diharapkan perasaan dekat dan selalu ingat kepada alloh dapat senantiasa terpelihara.

Rabu, 30 Januari 2013

Cinta Terhadap Rasulullah SAW






Muhasabah Cinta Terhadap Rasulullah SAW

Sejauh mana kasih sayang dan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.? Sejauh mana kita benar-benar membumikan dan membuktikan kecintaan kita kepada baginda SAW.? Saat ini, di tahap mana perjuangan kita meneruskan misi risalah dakwah Rasulullah SAW. Apakah kasih kita sekadar sebutan di bibir sedangkan kehidupan kita jauh dari meneladani peribadi dan akhlak baginda SAW. Umat kekeringan cinta sejati terhadap Rasulullah SAW. Justeru saat ini kita kehilangan kekuatan sebenar untuk membangunkan kembali resipi “original” Islam dalam kehidupan manusia.
Menelusuri sirah para sahabat RA. kita akan menemui keteladalan luar biasa mereka dalam membumikan kasih sayang mereka kepada Rasulullah SAW. Kita tadabbur salah satu sirah mereka. Di dalam sirah Ibnu Hisham diceritakan satu kisah sahabat bernama Saad bin Rabe' yang terlalu kasihkan Rasulullah SAW dan Rasulullah pun kasih kepadanya. Kisah yang menarik ini dirakamkan selepas berlakunya perang Uhud ketika tentera Islam tewas disebabkan sebahagian mereka tidak mentaati perintah Rasulullah.
Cinta Saad Bin Rabe’ Pada Rasul
Sebaik saja peperangan berakhir, ramai di kalangan sahabat yang gugur syahid. Tetapi Nabi SAW yang dahinya masih luka berdarah serta patah gigi, baginda tetap terkenangkan seorang sahabat yang baginda kasihi dan sayangi iaitu Saad bin Rabe'.
Di kalangan pasukan perang yang masih hidup itu, Nabi SAW tidak melihat kelibat Saad bin Rabe'. Tergerak di hati Nabi untuk mengetahui keadaan Saad bin Rabe', sama ada Saad masih hidup ataupun turut terkorban bersama syuhada yang lain.
Nabi SAW mengarahkan di kalangan sahabat untuk berusaha mencari Saad bin Rabe' bagi mengesahkan kedudukannya yang sebenar, sama ada hidup atau gugur syahid. Lalu bangun seorang sahabat dari kalangan Anshar, Zaid bin Tsabit menawarkan diri untuk melaksanakan kehendak Nabi SAW bagi mencari Saad.
Zaid bin Tsabit RA menceritakan bahawa setelah mencari di segenap penjuru medan Uhud akhirnya Saad bin Rabe' ditemui dalam keadaan luka parah. Beliau dikekelilingi oleh jenazah para sahabat yang lain. Tetapi keadaan Saad di antara hidup dan mati, malah boleh dikatakan kematian sudah begitu hampir dengannya.
Tubuhnya kelihatan terkena 70 luka tusukan tombak, sabitan pedang, dan lemparan anak panah. Kemudian Sa`ad berkata, "Katakan kepada Rasulullah bahawa aku benar-benar telah mencium wangian syurga. Katakan juga kepada kaumku Anshar agar mereka jangan khuaatir jika telah mengikhlaskan diri kepada Rasulullah SAW dan sesungguhnya mereka telah berada di hujung perjalanan."
Zaid bin Tsabit RA bertanya kepada Saad: "Sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan aku supaya mencari engkau, untuk mengetahui tentang dirimu. Bagaimana keadaan kamu wahai Saad?" Jawab Saad dalam nada lemah:
"Sesungguhnya aku berada dalam kalangan jiwa yang mati. Oleh itu kembalilah yang semakin menghampiri kematian. Jika engkau bertemu Nabi katakan kepada baginda bahawa aku berkirim salam."
Berkata Saad seterusnya dengan nada yang tersekat-sekat: "Bahawa aku berserah diri kepada Allah SWT untuk membalas jasa Nabi SAW, kerana aku tidak dapat membalas jasa baginda yang telah mempimpin dan mengasuhku, hingga aku menjadi seorang mukmin dan menjadi pengikut Nabi SAW yang setia."
Kata Saad lagi: "Jika engkau kembali ke Madinah, aku juga berkirim salam dengan sahabat-sahabat kita di Madinah. Katakan kepada mereka, bahawa Saad bin Rabe' menyampaikan pesanan kepada anda sekalian. Bahawa jika anda masih hidup sedangkan kamu tidak mempertahankan Nabi sehingga Rasulullah SAW dibunuh oleh musuh, maka kamu tidak akan ada alasan atau jawapan ketika ditanya oleh Allah Taala di akhirat kelak."
Akhirnya Sa'ad bin Rabi' menghembuskan nafas terakhirnya. (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Zaid bin Tsabit RA terharu mendengar kata-kata terakhir Saad bin Rabe', dia terpaku seketika sehingga Saad menghembuskan nafasnya yang akhir. Setelah itu beliau beredar dan kembali semula menemui Nabi SAW, beliau menyampaikan salam dan pesanan Saad bin Rabe' kepada Nabi sejurus sebelum ajalnya tiba.
Luarbiasa kecintaaan dan kasih Saad kepada Rasulullah SAW. Beliau mengakhirkan kehidupan dalam keadaan mempertahankan habis-habisan kesucian Islam demi menjayakan misi dakwah Rasulullah SAW.
Cinta Adalah Prinsip
Mencintai dan mengasihi Rasulullah adalah sebuah prinsip dan kewajiban bagi setiap muslim, bukan sebuah pilihan yang samada mahu atau tidak. Terhadap Muhammad SAW, seorang Muslim harus menyimpan rasa cinta betapapun kecil. Ini kerana cinta dan kasih sayang merupakan dasar dan landasan ke arah melahirkan pengikut sejati umat Muhammad SAW seperti yang telah diteladani oleh para sahabat RA.
“Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih kucintai daripada diriku, dan anakku,” kata seorang sahabat suatu hari kepada Rasulullah Muhammad saw. “Apabila aku berada di rumah, lalu kemudian teringat kepadamu, maka aku tidak akan tahan meredam rasa rinduku sampai aku datang dan memandang wajahmu. Tapi apabila aku teringat pada mati, aku merasa sangat sedih, kerana aku tahu bahawa engkau pasti akan masuk ke dalam syurga dan berkumpul bersama nabi-nabi yang lain. Sementara aku apabila ditakdirkan masuk ke dalam syurga, aku khuatir tak akan dapat lagi melihat wajahmu, kerana darjatku jauh lebih rendah dari darjatmu.”
Mendengar kata-kata sahabat yang demikian mengharukan hati itu, Nabi tidak memberi sembarang jawaban sehinggalah malaikat Jibril turun dan membawa firman Allah SWT berikut:
“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah; iaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang soleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An Nisa’: 69)
Apabila kita jujur dalam mencintai Muhammad SAW, maka jiwa kita akan terbentuk dan tercermin pada jiwa Muhammad SAW.
“Bukti cinta adalah mendahulukan sang kekasih di atas selainnya,” begitu kata Imam Ja’far al-Shadiq AS.
Abu Musa al Asy’ari RA dan rombongan kaumnya dari Yaman yang berkunjung ke Madinah berkongsi keriangan dan kegembiraan. Mereka mempercepatkan langkah dan begitu bahagia untuk menemui Rasulullah SAW sambil mendendangkan syair kegembiraan:
“Esok kita akan bertemu dengan para kekasih kita, Muhammad dan sahabat-sahabatnya!”
Setibanya mereka di Madinah dan Masjid Nabi, mereka terus menghadap dan memuliakan Nabi SAW. (riwayat Al-Baihaqi)
Berkata Ishaq al-Tujibi RA, sahabat-sahabat Nabi SAW selepas kewafatan Baginda SAW tidak akan menyebut nama Baginda SAW melainkan mereka akan merendahkan diri dan menggigil serta menangis kerana diselubungi perasaan rindu yang dalam akibat berpisah dengan baginda SAW.
Muhasabah Cinta
Inilah sebahagian daripada bukti dan tanda yang harus ada pada para pencinta Nabi SAW. Apabila kita jujur mencintai Muhammad SAW, maka kita akan berusaha semaksima mungkin menggali segala sesuatu tentang dirinya; kehidupan peribadinya, kehidupannya dalam keluarga, dengan sesama saudara, dengan lingkungannya, dan yang lain. Apabila kita ingin mengetahui sejarah Muhammad SAW dan segala sesuatu yang berkaitan dengan peribadi manusia yang agung ini, hendaklah diawali dengan rasa cinta terlebih dahulu. Apabila sudah tertanam rasa cinta, maka akan terbina sikap sungguh-sungguh untuk mengenalinya secara tepat dan mendalam. Mengenali baginda tanpa dilandasi atas dasar cinta akan menyebabkan hubungannya longlai dan rapuh terhadap Rasulullah SAW.
Oleh itu marilah kita bersama-sama memuhasabah diri, adakah kita ini pencinta sejati atau pendakwa semata-mata? Tepuk dada, tanyalah iman. Semoga Allah SWT mengurniakan kita semua kesempurnaan kecintaan kepada Rasulullah SAW!
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Selasa, 29 Januari 2013

TAUHID RUBUBIYAH



TAUHID RUBUBIYAH

الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسلين. أما بعد :


Ada tiga macam tauhid, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah, Tauhid Asma' wa Sifat. Berikut adalah pengertian dari Tauhid Rububiyah.

Pengertian Tauhid Rububiyah adalah meng-esakan Allah dalam penciptaan, pemberian rezeki, pemeliharaan alam semesta, penghancuran alam semesta, pencabutan nyawa, dan pembangkitan manusia. itulah tauhid rububiyah. beriman bahwa Allah satu-satunya pencipta, satu-satunya pemberi rezeki, tidak ada yang dapat memberi madhorot dan manfaat kecuali hanya Allah.

Macam pertama dari tauhid ini, jika seseorang mengakuinya tanpa mengakui macam-macam tauhid yang lain maka belum bisa disebut muslim. karena orang-orang kafir juga mengakuinya. Allah berfirman :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

Artinya : "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah"." (QS Al-Ankabut : 61)

Allah juga berfirman :

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ

Artinya : "Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah."." (QS Yunus : 31)

Dan kenapakah mereka belum disebut sebagai muslim?

Karena mereka belum mengakui dan beriman dengan Uluhiyah Allah (silahkan baca artikel tentang Tauhid Uluhiyah). dan inilah macam tauhid yang kedua yang menentukan seseorang disebut sebagai muslim atau bukan.

Tauhid Uluhiyah


TAUHID ULUJHIYAH

Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)

Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)

Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah merupakan konsekuensi dari tauhid rububiyah. Hakikat tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Ibadah itu sendiri harus dibangun di atas landasan cinta dan pengagungan kepada-Nya.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh menjelaskan, bahwa kata uluhiyah berasal darialaha – ya’lahu – ilahah – uluhah yang bermakna ‘menyembah dengan disertai rasa cinta dan pengagungan’. Sehingga kata ta’alluh diartikan penyembahan yang disertai dengan kecintaan dan pengagungan (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 dan 74-76, lihat juga al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/26] karya Imam ar-Raghib al-Ashfahani).
Tauhid uluhiyah merupakan intisari ajaran Islam. Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus kepada seorang rasul pun sebelum kami -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25)
Kamilah al-Kiwari hafizhahallahu berkata, “Makna tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah, dalam ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Oleh sebab itu tidak diibadahi kecuali Allah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun baik yang ada di bumi ataupun di langit. Tauhid tidak akan benar-benar terwujud selama tauhid uluhiyah belum menyertai tauhid rububiyah. Karena sesungguhnya hal ini -tauhid rububiyah, pen- tidaklah mencukupi. Orang-orang musyrik arab dahulu pun telah mengakui hal ini, tetapi ternyata hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Hal itu dikarenakan mereka mempersekutukan Allah dengan sesembahan lain yang tentu saja Allah tidak menurunkan keterangan atasnya sama sekali dan mereka pun mengangkat sesembahan-sesembahan lain bersama Allah…”(lihat al-Mujalla fi Syarh al-Qowa’id al-Mutsla, hal. 32)
Tauhid uluhiyah bisa didefinisikan sebagai: mengesakan Allah dengan perbuatan hamba. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.”(lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Dari sini pula, dapat dipahami bahwa makna yang benar dari kalimat laa ilaha illallahadalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (laa ma’buda haqqun illallah). Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah adalah al-Haq/sesembahan yang benar, adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62) (lihat al-Qaul al-Mufid fi Adillat at-Tauhid, hal. 25 karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Wushobi). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Dan ilah (sesembahan) kalian adalah ilah yang satu saja. Tidak ada ilah yang benar selain Dia. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163).
Oleh sebab itu orang-orang musyrik ketika mendengar dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun mengatakan (yang artinya),“Apakah dia -Muhammad- akan menjadikan ilah-ilah itu menjadi satu ilah saja. Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Allah ta’alajuga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri. Mereka mengatakan, “Apakah kami harus meninggalkan ilah-ilah/sesembahan-sesembahan kami gara-gara ucapan seorang penyair gila?”.” (QS. ash-Shaffat: 35-36)
Apabila hal ini telah jelas, maka tentu saja dengan mudah kita bisa mengetahui bahwa penafsiran laa ilaha illallah dengan ungkapan ‘Tiada pencipta selain Allah‘, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah sebuah kesalahpahaman (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)


BAHAYA LIDAH

 BAHAYA LIDAH

Barangkali semuanya (umat Islam) mengetahui bahwa ucapan keji, melaknat, dan menggunjing termasuk kepada amalan lisan yang berbahaya (diharamkan). Namun bagaimana halnya dengan ucapan yang tidak berguna -walaupun hanya sekadar bertanya atau berbasa-basi-, banyak bicara, berdebat -walaupun katanya untuk “kebaikan”-, berlagak fasih, dan menyanjung? Kebanyakan umat Islam akan menganggap biasa hal-hal tersebut, atau bahkan sama sekali menganggapnya sebagai perkara yang baik. Padahal jika dikaji maka akan diketahui betapa besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan dari amalan lisan yang dianggap “lumrah” tersebut.
Itulah beberapa bahaya dari dua puluh bahaya lisan yang dijabarkan oleh Imam Ghazali dalam bukunya, “Bahaya Lisan”. Lisan sebagai salah satu nikmat Allah yang sangat besar seringkali tidak diperhatikan, dijaga, dan tidak dipenuhi hak dan kewajibannya oleh manusia. Pentingnya berhati-hati dalam menggunakan lisan seringkali tidak diketahui atau malah diabaikan oleh mayoritas umat Islam. Padahal Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa menjaga lisan (diam) adalah salah satu tanda kebijaksanaan sekaligus penyebab keselamatan seseorang.
Sepatutnya kita mengetahui bahwa seorang manusia tidak akan tercampakkan ke jurang neraka kecuali melalui lisannya. Manusia juga tidak akan selamat dari kekejaman lisan, kecuali mereka yang mengikat erat lisannya dengan kendali syariat, serta tidak mengatakan kecuali sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya untuk kepentingan dunia dan akhirat. Lalu mencegah lisannya dari setiap bahaya yang ditakuti pada masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa ingin selamat, hendaknya membiasakan diam!” (HR. Ibnu Abi Dunya dan Baihaki)
Juga sabda beliau SAW yang lain,
“Barangsiapa banyak bicara, niscaya banyak kesalahannya. Barangsiapa banyak kesalahannya, niscaya banyak dosanya. Dan barangsiapa banyak dosanya, maka neraka lebih utama baginya.” (HR. Abu Nuaim di dalam al-Hiliyah)
Masih banyak lagi hadits yang berkaitan dengan bahaya lisan dan pentingnya menjaga lisan yang akan ditemui dalam buku ini. Ditambah dengan perkataan dan nasihat dari para sahabat dan tabi’in yang sangat berhati-hati dalam menggunakan lisan. Di antaranya adalah perkataan Hasan, beliau berkata, “Orang yang tidak bisa menjaga lisannya, berarti tidak memahami agamanya!”
Demikianlah, melalui buku “sederhana” (karena tidak begitu besar dan tidak begitu tebal) ini penulis (Imam Ghazali) akan menjelaskan satu persatu dari semua bahaya lisan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia yang tidak berhati-hati. Bahkan mereka yang mengaku dai atau seorang yang pemberani sekalipun tak luput dari khilaf dalam menjaga lisan. Dengan gaya penulisan yang “tidak banyak bicara”, setiap materi disampaikan dan dijelaskan secara ringan (baik) sehingga mudah dipahami. Pun dengan pembahasan yang mengena akan membuat pembaca dapat langsung mengintrospeksi diri dan menyadari kelemahan diri yang seringkali tidak bijak dalam menggunakan lisan. Pantaslah buku terbitan Qisthi Press ini dikatakan sebagai salah satu buku berpredikat “Best Seller”.

Para Qutub

 

Para Qutub ( Wali Spiritual Islam )

 
 
Beberapa wali yang pernah mencapai
derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-
Ghaus) pada masanya :
Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
Syaikh Yusuf al-Hamadani
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
Syaikh Ahmad Badawi
Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
Syaikh Muhammad Bahauddin an-
Naqsabandi
Syaikh Ibrahim Addusuqi
Syaikh Jalaluddin Rumi
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Beliau pernah berkata Kakiku ada diatas
kepala seluruh wali. Menurut Abdul Rahman
Jami dalam kitabnya yang berjudul Nafahat
Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka
diberbagai abad sungguh-sungguh
meletakkan kepala mereka dibawah kaki
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah
ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka
nampak tangan dari dalam kubur Nabi
bersalaman dengan beliau dan beliau pun
terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia
itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang
ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi
Saw tersebut. Salah seorang muridnya
berkata :
“Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”.
Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu
daripada Quthubiyah”. Kata murid: “Tuan
Guru adalah Ghaus!”. Jawabnya: “Sucikan
syakmu daripada Ghausiyah”.
Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang
demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh
Ahmad al-Rifa’i telah melampaui “Maqamat”
dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu
adalah Maqam yang maklum (diketahui
umum).
Sebelum wafat beliau telah menceritakan
kapan waktunya akan meninggal dan sifat-
sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan
menjalani sakit yang sangat parah untuk
menangung bilahinya para makhluk.
Sabdanya, Aku telah di janji oleh Allah, agar
nyawaku tidak melewati semua dagingku
(daging harus musnah terlebih dahulu).
Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang
mengakibatkan kewafatannya, beliau
berkata, “Sisa umurku akan kugunakan
untuk menanggung bilahi agungnya para
makhluk.
Kemudian beliau menggosok-ngosokkan
wajah dan uban rambut beliau dengan debu
sambil menangis dan beristighfar . Yang
dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah
sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak
terhitung banyaknya kotoran yang keluar
dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya
selama sebulan. Hingga ada yang tanya, Kok,
bisa sampai begitu banyaknya yang keluar,
dari mana ya kanjeng syaikh. Padahal sudah
dua puluh hari tuan tidak makan dan minum.
Beliau menjawab, Karena ini semua
dagingku telah habis, tinggal otakku, dan
pada hari ini nanti juga akan keluar dan
besok aku akan menghadap Sang Maha
Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah
benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus
berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari
perutnya. Demikian mulia dan besarnya
pengorbanan Aulia Allah ini sehingga
sanggup menderita sakit menanggung bala
yang sepatutnya tersebar ke atas manusia
lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti
yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis
waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570
Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun
578 Hijrah.
Syaikh Ahmad Badawi
Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau
menatap matahari, sehingga kornea
matanya merah membara. Apa yang
dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya
hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap
langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak
masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan
riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih
perutnya tak terisi makanan dan minuman.
Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan
bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi
dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas
dari kalimat toyyibah, berdzikir dan
bersholawat.
Pada usia dini beliau telah hafal Al-Quran,
untuk memperdalam ilmu agama ia berguru
kepada syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau
telah sampai ketingkatannya, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, menawarkan kepadanya:
“Manakah yang kau inginkan ya Ahmad
Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan
kuberikan untukmu”, hal yang sama juga
diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad Rifai,
dengan lembut, dan karna menjaga
tatakrama murid kepada gurunya, ia
menjawab; Aku tak mengambil kunci kecuali
dari al-Fattah (Allah ).
Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang
sangat utama, yaitu bacaan shalawat
badawiyah sughro dan shalawat badawiyah
kubro.
Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Keramat itu tidak diberikan kepada orang
yang mencarinya dan menuruti keinginan
nafsunya dan tidak pula diberikan kepada
orang yang badannya digunakan untuk
mencari keramat. Yang diberi keramat hanya
orang yang tidak merasa diri dan amalnya,
akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah
dan merasa mendapat anugerah (fadhal)
dari Allah semata, tidak menaruh harapan
dari kebiasaan diri dan amalnya.
Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara
istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat
duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa,
seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan
sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat
dan pemeliharaan yang khusus dari Allah
swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang
lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah
swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Beliau pernah dimintai penjelasan tentang
siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian
beliau menjawab, Guruku adalah Syaikh
Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi
sekarang aku sudah menyelami dan minum
sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu
dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin
Khattab r.a, Usman bin Affan r.a dan Ali bin
Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari
malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh
yang agung.
Beliau pernah berkata, Aku diberi tahu
catatan muridku dan muridnya muridku,
semua sampai hari kiamat, yang lebarnya
sejauh mata memandang, semua itu mereka
bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak
terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa
memberi tahu tentang kejadian apa saja
yang akan terjadi besok sampai hari kiamat.
Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, Aku
setiap malam banyak membaca
Radiyallahu’an Asy-Syekh Abul Hasan dan
dengan ini aku berwasilah meminta kepada
Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka
terkabulkanlah apa saja permintaanku.
Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad saw. dan aku bertanya, Ya
Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah
membaca Radiya Allahu ˜An Asy-Syaikh Abu
Hasan dan aku meminta apa saja kepada
Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku
lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah
diperbolehkan atau tidak?. Lalu Nabi saw
menjawab, Abu Hasan itu anakku lahir batin,
anak itu bagian yang tak terpisahkan dari
orang tuanya, maka barang siapa
bertawassul kepada Abu Hasan, maka berarti
dia sama saja bertawassul kepadaku.
Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili
yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan
Hizib Bahar. Orang yang mengamalkan Hizib
Bahar dengan istiqomah, akan mendapat
perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila
ada orang yang bermaksud jahat mau
menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan
air yang sangat luas. Si penyatron akan
melakukan gerak renang layaknya orang
yang akan menyelamatkan diri dari daya
telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan
terus melakukan gerak renang sampai pagi
tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib
Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-Syazili di
Laut Merah (Laut Qulzum).
Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu
syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar
menumpang perahu. Di tengah laut tidak
angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa
berlayar selama beberapa hari. Dan,
beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili
melihat Rasulullah. Beliau datang membawa
kabar gembira. Lalu, menuntun syaikh Abu
Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai
syaikh Abu Hasan asy-Syazili membaca doa,
angin bertiup dan kapal kembali berlaya

Pengertian Sholawat

SHOLAWAT
 
1. Apakah pengertian Sholawat ?
Sholawat menurut arti bahasa adalah :‘' DO‘A‘'
Menurut istilah adalah:
•  Sholawat Alloh SWT kepada Rosululloh SAW berupa Rohmat dan Kemuliaan( Rahmat Tadhim )
•  Sholawat dari malaikat yang kepada Kanjeng Nabi SAW berupa permohonan rahmat dan kemuliaan kepada Allah SWT untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW sedangkan selain Kanjeng Nabi berupa permohonan rahmat dan ampunan
•  Sholawat orang–orang yang beriman ( manusia dan jin ) ialah permohonan rohmat dan kemuliaan kepada Allah SWT. untuk Kanjeng Nabi SAW, seperti :
ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD
2. Sebutkan dasar membaca Sholawat !
Dasar membaca Sholawat kepada Kanjeng Nabi SAW adalah :
Firman Alloh SWT dalam surat Al Ahzab ayat. 56:
Artinya: ‘‘ sesungguhnya Allah beserta para malaikatnya senantiasa bersholawat untuk Nabi SAW. Hai orang-orang yang beriman bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkan salam penghormatan padanya (Nabi SAW.).
3. Bagaimana hukumnya membaca ? jelaskan !
Mengenai hukum membaca Sholawat, ada beberapa pendapat dari Ulama ada yang Wajib Bil Ijmal, wajib satu kali semasa hidup, adapula yang berpendapat Sunnah .pendapat yang paling masyhur adalah Sunnah mu'akkad akan tetapi membaca Sholawat pada akhir Tasyahhud akhir dari sholat adalah Wajib, oleh karena itu sudah menjadi rukunnya sholat.
4. Kita Di samping mempersatukan pendapat para ulama tentang kedudukan hukumnya membaca Sholawat diatas yang lebih penting adalah menyadari denan konsekwen bahwa membaca Sholawat kepada Nabi SAW merupakan kewajiban Moral dan keharusan budi nurani tiap–tiap manusia lebih–lebih kita kaum mu'minin, apa sebabnya!
karena disebabkan :
•  Kita diperintah membaca Sholawat seperti ayat di atas.
•  kita semua berhutang budi kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang tidak terhitung
3. Banyak dan besarnya , dhohiron wa batinan Syafa'atan wa Haqiqotan.
Faedah dan manfa'at membaca Sholawat kembali kepada yang membaca sendiri, keluarganya, masyarakat dan makhluk lain ikut merasakannya bacaan Sholawat tersebut.
5. Apa tujuan membaca sholawat dan bagaimana adabnya ?
Tujuan dari membaca Sholawat adalah Ikraman, tadhiman wa Mahabbah kepada Kanjeng Nabi SAW. Didalam membaca Sholawat kita harus memperhatikan adab– adab dalam membaca Sholawat tersebut.
Adapun adab–adab dalam membaca Sholawat antara lain :
•  Niat ikhlas beribadah kepada Alloh SWT tanpa pamrih.
•  Tadhim dan mahabbah kepada Rosululloh SAW.
•  Hatinya HUDHLUR kepada Alloh SWT dan ISTIHDLOR ( merasa berada di hadapan Rosululloh SAW)
•  TAWADDU' ( merendahkan diri ), merasa butuh sekali kepada pertolongan Alloh SWT, butuh sekali Syafa‘at Rosululloh SAW.
Adab tersebut merealisasi sabda Rosululloh SAW, sbb :
Artinya ‘‘ Ketika kamu sekalian membaca Sholawat kepada KU maka bagusilah bacaan Sholawat mu itu . sesungguhnya kamu sekalian tidak mengerti sekirannya hal tersebut diperlihatkan kepadaKU ‘‘
6.Apakah Manfa'at dan faedah membaca Sholawat
Manfa'at dan faedah membaca Sholawat antara lain :
•  Membaca Sholawat satu kali, balas Alloh SWT rohmat dan maghfiroh sepuluh kali, membaca sepuluh kali dibalas 100 X dan seratus kali membaca Sholawat dicatat dan dijamin bebas dari munafik dan bebas dari neraka, disamping digolongkan dengan para Syuhadak.
bersabda :
“Barang siapa membaca sholawat kepada-Ku 10x, maka Alloh SWT membalas Sholawat kepadanya 100x, dan barang siapa membaca Sholawat kepadaku 100x, maka Alloh SWT menulis pada antara kedua matanya; "bebas d2ri munafzq dan bebas dari neraka ", dan Alloh SWT menempatkan besok pada Yaumul Qiyamah bersama-sama dengan para Syuhadak”.
•  Sebagai amal kebagusan, penghapusan keburukan dan sebagai pengangkat derajat si pembaca Sholawat.
. Rosulullooh SAW bersabda
''Ya benar, telah datang kepada-ku seorang pendatang dari Tuhan-Ku kemudian berkata : barang siapa diantara ummat-mu membaca Sholawat kepada-mu satu kali, maka sebab bacaan Sholawat tadi Alloh SWT menuliskan baginya 10 kebaikan, dan mengangkat derajatnya 10 tingkatan, dan.Alloh SWT membalas sholawat kepadanya sepadan dengan sholawat yang ia baca ".
7. Manusia yang paling banyak membaca Sholawat , dialah yang paling utama disisi Rosululloh SAW dan yang paling dekat dengan Beliau besok di hari qiyamat Rosulullooh SAW bersabda :
“Sesungguhnya manusia yang paling utama disisi-ku pada hari Qiyamah adalah mereka yang paling banyak bacaan Sholawatnya kepada-Ku"
ROSULULLOH SAW BERSABDA :
'Yang paling banyak diantara kamu sekalian bacaan sholawatnya kepada-Ku, dialah paling dekat dengan Aku besok dt hari Qiyamat. (DARI KITAB SA'ADATUD DAROINI HAL : 58).
8. Sholawat berfungsi Istighfar dan memperoleh jaminan maghfiroh dari Alloh SWT.
ROSULULLOH SAW BERSABDA :
"Bacalah kamu sekalian sholawat kepada-Ku, maka sesungguhnya bacaan Sholawat kepada-Ku itu menjadi penebus dosa dan pembersih bagi kamu sekalian dan barang siapa membaca Sholawat kepada-ku satu kali, Alloh SWT membalas kepadanya sepuluh kali (RIWAYAT IBNU ABI 'ASHIM DARI ANAS bin' MALIK)
9. Sholawat merupakan pengawal do‘a dan memperoleh keridhoan serta pembersih amal–amal kita.
ROSULULLOH SAW BERSABDA
'Sholawat kamu sekalian kepada-Ku itu merupakan pengawal bagi do'a kamu sekalian dan memperoleh keridloan Tuhan-mu, dan merupakan pembersih amal-amal kamu sekalian (RIWAYAT DAELAMI DARI SAYYIDINA 'ALI KAROMALLOOHU WAJHAH).
•  Merupakan kunci pembuka hijabnya doa hamba kepada Alloh SWT dan menjadi jaminan terkabul nya semua do‘a.
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
"Segala macam doa itu terhijab~ (terhalangltertutup), sehingga permulaannya berupa pujian kepada Alloh 'Azza wa Jalla dan sholawat kepada Nabi SAW kemudian berdo'a, maka do'anya itu diijabahi". (RIWA YA T IMAM NASAI).
•  Orang yang membaca Sholawat 100 X setiap hari, akan di kabulkan 100 maca, hajat oleh Alloh SWT, yang 70 macam untuk kepentingan akhirat danyang 30 macam untuk kepentingan di dunia
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
"Barang siapa membaca Sholawat kepada-KU tiap hari 100 kali, maka Alloh SWT mendatangkan 100 macam hajatnya, yang 70 macam untuk kepentingannya di akhirot, dan yang 30 macam untuk kepentingannya di dunia " * (DIKELUARKAN OLEH IBNU MUNDIR DARI JABIR).
•  Orang yang membaca Sholawat 1000 X setiap hari, tidak akan mati sehingga dia melihat tempatnya di sorga.
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
'Barang siapa membaca Sholawat kepada-Ku tiap hari seribu kali, dia tidak akan mati sehingga dia melihat ,tempatnya di surga". (DARI ANAS bin MALIK).
•  Orang yang menulis Sholawat dimohonkan ampunan oleh para Malaikat
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
"Barang siapa yang menulis sholawat kepada-Ku di dalam suatu kitab, maka Malaikat tidak henti-hentinya memohonkan ampun baginya selagi namaKU masih berada di dalam Kitab itu ".
•  Bacaan Sholawat menjadi NUR pada hari Qiamat
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
" Hiasilah ruangan tempat pertemuanmu, dengan bacaan Sholawat kepada-Ku, maka sesungguhnya bacaan Sholawat kamu sekalian kepada-Ku itu menladi 'NUR" dihari Qyamat” (DIRIWAYATKAN DARI ANAS bin MALIK)
•  Bacaan Sholawat dapat untuk mencuci hati ( operasi mental ).
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
'Segala sesuatu itu ada alat . pencuci dan pembasuh. Adapun alat pencuci hati seorang mu'min dan pembasuhnya dari kotoran yang sudah melekatIsudah berkarat itu dengan membaca Sholawat kepada-Ku -.(SA'AADA TUD DAROINI HAL : 511).
•  Sholawat akan melancarkan semua usaha dan menghilangkan semua kesulitan hidup yang dihadapi.
ROSULULLOH SAW BERSABDA:
Barang siapa yang merasa sulit/ sukar menempuh sesuatu, maka sesungguhnya Sholawat itu akan membuka kesulitan dan menghilangkan kesusahan". (H.R. THOBRONI DARI ABI HUROIROH RAJ.
10. Kecaman terhadap orang yang tidak membaca Sholawat
Kecaman terhadap orang yang tidak membaca Sholawat antara lain :
•  Dia tidak akan melihat wajah Rosulullah SAW
Sabda rosulullooh Saw :
" Tidak akan bisa melihat wajah-Ku tiga macam orang. satu, orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, nomor dua, orang yang meninggalkan (tidak mengerjakan) Sunnah-ku, dan tiga, orang yang tidak-membaca Sholawat kepada-Ku ketika (mendengar) Aku disebut di dekatnya (HADITS MARFU' DARI AISYAH RA).
•  Tidak sempurna agamanya.
Sabda rosulullooh Saw :
'Barang siapa tidak mau membaca Sholawat kepada-Ku, maka tidak dianggap sempurna agamanya ". (RlWAYAT IBNU HAMDAN DARI IBNU MAS'UDI).
•  Dia termasuk sebakhil–bakhil manusia.
Sabda rosulullooh Saw
"Barang siapa (mendengar) Aku disebut di dekatnya dan tidak membaca Sholawat kepada-Ku, maka dia itulah sebakhil-bakhil manusia" (RIWAYAT IBNU ABI ASHIM DARI ABI DZARRIN AL-GHIFFARI).
•  Dia bukan golongan Rosululloh SAW.
Sabda rosulullooh Saw
"Barang siapa (mendengar) Aku disebut, didekatnya dan tidak membaca Sholawat kepadaKu, maka dia bukan dari golongan-Ku dan Akupun bukan dari golongan dia. Kemudian Rosululloh SAW melanjutkan sabdanya (dalam bentuk doa : Yaa Alloh, pertemukanlah orang yang suka berhubungan dengan Aku. dan putuskanlah (hubungan) orang yang tidak mau berhubungan dengan Aku (DIRIWAYATKAN DARI ANAS bin MALIK).
11. Jelaskan Keistimewaan membaca Sholawat pada hari jumat !
  Keistimewaan membaca Sholawat pada hari jumat siang ataupun malam diterima langsung oleh Rosululloh SAW sendiri.
“Perbanyaklah membaca Sholawat kepada-Ku pada tiap hari Jum'at, maka sesungguhnya bacaan Sholawat ummat-Ku pada tiap hariJumat itu diperlihatkan kepada-Ku “(Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad Hasan dari Abi Umamah)
12. Bagaiman pandangan para ulama mengenai sholawat ?
Banyak pandangan–pandangan dan pendapat para ulama mengenai Sholawat. ada yang di angkat dari qoidah–qoidah agamis dan ada pula yang berdasarkan atas keyakinan dan pengaruh zaman Dzauqiyah dan hasil–hasil dari mukasyafah antara lain :
a. Bacaan Sholawat adalah jalan kesurga kata Abu Huroiroh RA.:
“Membaca Sholawat kepada Kanjeng Nabi SAW adalah jalan menuju ke sorga ".
b. Memperbanyak bacaan Sholawat suatu tanda golongan / ahli sunnah kata Sayyidina 'Ali Zainul 'Abidin bin Husain bin 'Ali bin Abi Tholib Rodliyallohu anhum :
“Tanda-tanda ahli Sunnah ialah memperbanyak bacaan Sholawat kepada Kanjeng Nabi Sholialloohu 'alaihi wa Sallam ".
c. Jalan yang paling dekat kepada Alloh SWT pada akhir zaman.
Jalan yang paling dekat (menuju) kepada Alloh SWT pada akhir Zaman khususnya bagi orang-orang yang berlarut-larut banyak dosa, adalah memperbanyak istighfar dan membaca Sholawat kepada Nabi SAW".(Dari Kitab Sa`aadatud Daroini).
d. Untuk menjernihkan hati dan Marifat Billah.
"Sesungguhnya membaca Sholawat kepada Kanjeng Nabi SAW itu (dapat) menerangi hati dan mewushulkan tanpa guru kepada Alloh SWT Dzat yang Maha Mengetahui segala perkara Ghaib ".. (Sa'aadatud Daroini Hal : 36).
f. Sholawat dapat mewusulkan tanpa guru.
“Secara keseluruhan, membaca Sholawat kepada Nabi SAW itu (dapat) mewushulkan kepada Alloh SWT tanpa guru. Oleh karena sesungguhnya Guru dan Sanad di dalam Sholawat itu adalah Shoohibush Sholawat (Ya'ni Rosululloh SAW), oleh karena Sholawat itu diperlihatkan kepada Beliau SAW dan Alloh SWT membalas (memberi) Sholawat kepada si Pembaca Sholawat. Berbeda dengan lainnya Sholawat dari bermacam-macam dzikir itu (harus) ada guru (mursyid) yang arif Billah. Kalau tidak, maka syetan akan masuk ke dalam amalan dzikir itu dan orang yang dzikir tidak dapat memperoleh manfaat daripada dzikirnya". (Juga disebutkan dalam Saaadatud Daroini hal : 90).
g. Sholawat diterima secara mutlak oleh Alloh SWT.
Kata Syekh Showi dalam Tafsir showinya :
'Dan sesungguhnya para Ulama' sudah sependapat bahwa sesungguhnya bermacam-macam amal itu ada yang diterima dan ada yang ditolak terkecuali Sholawat kepada Nabi SAW. Maka sesungguhnya Sholawat kepada Nabi SAW itu "Maqbuulatun Qothl'an "(pasti diterima) ". (Taqriibul Ushul Hal : 5 7).
f. Menambah rasa cinta kepada Allah SWT wa Rosulihi SAW.
“Berkata AI-Allamah Syamsuddin bin Qoyyim dalam Kitabnya Jalaail afham : sesungguhnya Sholawat itu menjadi sebab langsungnya rasa cinta kepada Alloh SWT wa Rosulihi SAW & dapat meningkat berlipat-lipat rasa cintanya. Cinta yang demikian itu menjadi ikatan daripada beberapa ikatannya iman, dimana iman itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya -.
g. Tercetaknya pribadi Rosululloh SAW dalam hati orang yang membaca Sholawat.
Setengah dari pada faedah membaca Sholawat yang paling besar adalah tercetaknya Shuroh Rosululloh SAW di dalam hati si pembaca Sholawat (Sa'aadatud Daroini Hal : 106).
h. Orang yang ahli Sholawat ketika sakaratul maut dirawuhi oleh Beliau SAW.
"Barang siapa keadaan hidupnya memperbanyak Sholawat kepada Rosululloh SAW, maka ia berhasil mendapat kebahagiaan yang besar sekali, karena ketika sakarotul Maut Rosululloh SAW rawuh di hadapannya (Sa'aadatud Daroini Ha : 516).
i. Mudah mimpi ketemu Rosulullooh saw.
"Sesungguhnya memperbanyak Sholawat dengan mernakai redaksi yang mana saja berfaedah bisa bermimpi ketemu Rosululloh SAW, dan apabila berhasil dengan sungguh-sungguh memperbanyak serta membiasakan/ melanggengkan, maka pembaca Sholawat itu meningkat bisa melihat Rosululloh SAW dalam keadaan jaga ".
Beliau almukarom Asy Syekh Al-'Arif Billah Romo K.H. Abdoel Majid Ma'roef Mualif Sholawat Wahidiyyah berkata antara lain
''Membaca sholawat adalah termasuk ibadah sunnah yang paling mudah. Artinya tidak ada syarat-syarat tertentu seperti pada ibadah-ibadah sunnah lainnya. Dan diberi bermacam-macam kebaikan yang tidak diberikan didalam ibadah-ibadah sunah lainnya seperti membaca Qur'an , dzikir, sholat sunnah dan lainnya. Yaitu membaca sholawat spontan menerima Syafa'at dari membaca sholawat itu sendiri. Disamping itu membaca Sholawat sudah mengandung dzikir, istighfar dan mengandung Do'a Li-Qodloil hajat. ini bukan berarti dengan membaca sholawat, tidak usah yang lain-lain bukan berarti begitu tapi kita harus ‘‘YUKTI KULLAA DZI HAQQIN HAQQAH''.dengan mengisi di segala bidang .”
13. Segalah macam Sholawat mempunyai kedudukan yang sama tetapi satu dengan yang lain mempunyai fadlilah yang berbeda – beda, apa sebabnya !
  Segalah macam Sholawat mempunyai kedudukan yang sama tetapi satu dengan yang lain mempunyai fadlilah yang berbeda – beda, ini di sebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fadlilah Sholawat yaitu disamping dari Alloh SWT dan Syafaat Rosululloh SAW, falilahnya ada hubungannya dengan :
•  Kondisi Muallif Sholawat terutama kondisi batiniyah
•  Susunan Redaksi Sholawat
•  Situasi dan kondisi masyarakat ketika Sholawat itu di ta‘lif
•  Tujuan Sholawat itu di ta‘lif
•  Situasi dan kondisi si pembaca Sholawat.
•  Adab lahir dan batin ketika membaca Sholawat.
14. Macam macam Sholawat dapat di golongkan menjadi 2 golongan yaitu Sholawat Ma‘tsuroh Sholawat Ghoiru Matsuroh. Jelaskan !
a. Sholawat Ma‘tsuroh : Sholawat yang redaksinya langsung dari Alloh SWT misalnya Sholawat Ibrohimiyah, yaitu seprti dalam bacaan Tasyahhud akhir Sholawat tersebut tidak ada kalimat SAYYIDINAnya. Ini menunjukkan akan keluhuran budi Kanjeng Nabi SAW, selalu sederhana dan tawaddu,yang harus di tiru oleh para umat , adapun kita sering membaca kalimat Sayyidina itu ditambahkan dari para sahabat, sebagai pernyataan penghormataan , ikroman wa mahabbatan.
firman Alloh SWT :
janganlah kamu sekalian memanggil / menyebut pada Rosul seperti halnya engkau memanggil / menyebut diantara kamu sekalian".
Sabda Rosululloh SAW : .
''Saya gusti (pemimpinnya) anak cucu Adam tidak Saya tonjol-tonjolkan (sombong) dan saya permulaannya orang yang dibangunkan dari kubur, dan Saya permulaannya orang yang memberi Syafa'at (pertolongan), dan permulaannya orang-orang yang mendapat syafa'atNYA, ditangan saya benderanya pujian & dibawah bendera itu Nabi Adam AS beserta anak cucunya".
b. Sholawat Ghoiru Matsuroh : Sholawat ghoiro ma'tsuroh yaitu: yaitu sholawat yang disusun oleh selain kanjeng nabi SWT yaitu : yaitu oleh para sahabat, tabi'in, ailiyak, para ulama' dan umumnya orang islam. Misalnya: Shollawat nariyah, munjiyat, badawi, bardah dan masih banyak lagi. Diantara sholawat Wahidiyyah.
15. Macam-macam nama sholawat dapat dibagi 2 bagian sebutkan !.
Macam-macam nama sholawat dapat dibagi 2 bagian yaitu :
•  Nama sholawat yang disesuaikan dengan maksud Do'a yang terkandung didalamnya . misalnya : Sholawat Wahidiyyah, Nariyyah.
•  nama sholawat disesuaikan dengan nama muallifnya. Misalnya: sholawat badawi (Disusun oleh imam badawi), sholawat masyisiyah (disusun oleh syekh abdul salam Bin Masysyi Ghouts Fii Zamanihi).
16. Ada berapa macam redaksi sholawat ? sebutkan !
Ada berapa macam redaksi sholawat yaitu :
a. Sholwat yang berbentuk permohonan kepada Allah SWT seperti :
ALLOHUMMA SHOLLI 'AALA SAYYIDINAA MUHAMMAD
b. Sholawat yang langsung dihaturkan kepada beliau nabi muhammad SAW misalnya :
ASSHOLAATU WASSALAAMU 'ALAIKA WA 'ALAA ALIKA YAA SAYYIDII YAA ROSULALLOH
c. Sholawat yang redaksinya hanya merupakan kalam khobar :
SHOLLALLOHU 'ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD.
17. Bagaiman Kisah membacanya Sholawat Nabi Adam AS dan Nabi Musa A.S kepada Muhammad SAW
Kisah membacanya Sholawat Nabi Adam AS dan Nabi Musa A.S kepada Muhammad SAW adalah :
•  Kisah Nabi Adam AS membaca Sholawat kepada Rosululloh SAW.
Diceritakan dalm Hadits (Sa'aadatud Daroini hal;88).
Ketika Alloh SWT 'azza,waJalla telah menciptakan Nabi Adam AS nenek moyang kita dan setelah membukakan penglihatan matanya, maka memandanglah Nabi Adam AS pada 'ARSY dan melihat tulisan 'MUHAMMAD' diatas 'PENDOP0'-NYA'ARSY, maka maturlah kepada Alloh,-: Duhai Tuhanku, adakah orang yang lebih mulya disampingMU selain aku".Jawab Alloh SWT: "Benar, Yaitu nama seorang Nabi dari keturunan-mu yang lebih mulya disamping-MU dari pada engkau.Dan jika tidak karena Dia, AKU tidak menciptakan langit, bumi,surga dan neraka"
Setelah Alloh menciptakan Ibu Hawa dari tulang rusuk kiri Nabi Adam AS, maka Nabi Adam AS mengarahkan pandangannya keatas dan terlihatlah olehnya "satu makhIuq" yang lain dari padanya seorang wanita cantik jelita yang karenanya Alloh SWT memberikan rasa syahwat kepada Nabi Adam AS. Dan ketika itu maturlah Nabi Adam AS kepada Alloh SWT :
Maturnya : Muhai Tuhanku, siapakah gerangan itu ?
Jawab Alloh : 'Itu Hawa".
Nabi Adam AS: "Kawinkanlah aku Yaa Alloh dengan dia".
Alloh SWT : "Beranikah engkau membayar maskawinnya ?"
Nabi Adam AS: "Berapakah maskawinnya ?
Alloh SWT :"Supaya engkau membaca Sholawat kepada yang mempunyai nama (Muhammad SAW), 10 kali".
Nabi Adam AS: "JIka kulakukan itu apakah Tuhan telah mengawinkan dia dengan aku?"
Alloh SWT : "Benar demikian".
Kemudian Nabi Adam AS membaca Sholawat sepuluh kali kepada Junjungan kita Kangeng Nabi Besar Muhammad SAW. Maka bacaan Sholawat sepuluh kali itu sebagai maskawinnya Ibu Hawa.
. KISAH NABI MUSA MEMBACA SHOLAWAT KEPADA ROSULULLOH SAW.
Dikisahkan di dalam Kitab "Syifa'ul Asqom", Syekh Al Hafidz Abi Nuaem menceriterakan bahwa menurut hadits ada diceriterakan wahyu Alloh SWT kepada Nabi Musa AS sebagai berikut :
Firman : Alloh *"Wahai Musa, apakah-engkau ingin AKU ' lebih dekat kepadamu dari dekatnya kalammu terhadap lesanmu, supaya AKU lebih dekat kepadamu daripada dekatnya pandangan matamu terhadap matamu dan supaya AKU lebih dekat kepadamu daripada dekatnya rohmu terhadap badanmu. ?
Jawab Nabi Musa AS : "benar duhai Tuhanku''.
Firman Alloh : "Perbanyak membaca Sholawat kepada Muhammad Nabi-KU'