Rabu, 13 Februari 2013

Negatifnya Kyai Politik



 Negatifnya Kyai Politik

Kadang saya merasa gelisah dan ada yang mengganjal dalam fikiran, ketika mendengar dan melihat Kiai berpolitik atau terjun ke dunia politik praktis ? Timbul pertanyaan dalam diri saya dan mungkin juga pertanyaan sebagian besar masyarakat, lalu siapa yang akan mengurusi umat ?

Saya adalah salah satu dari yang kurang sependapat kalau kiai berkiprah di politik praktis. Alasan saya sederhana saja, bagaimanapun kiai adalah simbol panutan yang erat kaitannya dengan kehidupan ber-agama. Politik praktis bagi seorang kiai terlalu banyak dampak negatif yang ditimbulkan dan akan ditanggungnya serta pada gilirannya akan ditanggung pula oleh umat yang ada dibawahnya.

Bermain politik cenderung bersentuhan dengan rayuan dan jebakan dalam berbagai bentuk, bisa kekuasaan, materi, permainan kotor, tipu daya serta fitnahan, sementara diakui atau tidak diakui tidak seluruhnya kiai yang kita miliki cerdas dan piawai dalam melakukan kiprah politik.

Perasaan akan tergores, saat mana kiai politikus kita melakukan cedera politik, cemoohan atau kata-kata sinis yang akan terlontar di kalangan publik “kiai kok korupsi ?” atau “kiai kok terima suap ?” bahkan “kiai kok saling menghujat ?” dan masih banyak komentar lain yang mamanaskan telinga kita. Semestinyalah kiai ditempatkan pada posisi yang netral, hanya mengurusi hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat, bukannya berpolitik praktis, yang nyata-nyata berwajah kotor.


Dalam sebuah wawancara dengan Tempo Interaktif beberapa waktu yang lalu, Masdar F Mas’udi, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menyatakan : “jika pesantren dan kiainya berpolitik praktis, maka buntutnya akan mengancam otoritas sang pemimpin informal itu”, lebih lanjut menurutnya “Kharisma kiai meredup kalau kiai ikut bermain dalam percaturan politik, dengan menjadi corong salah satu orsospol tertentu,”.

***
Memperbincangkan peran Kiai tidak akan terlepas dari kehidupan Pesantren dan berbicara kehidupan Pesantren sudah barang tentu identik dengan organisasi massa Islam Nahdlatul Ulama atau disingkat NU. Hal ini sangatlah wajar mengingat NU lahir dari kehidupan tradisi pesantren.

Menurut Prof DR KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua PBNU : “NU adalah organisasi massa (ormas) Islam terbesar di dunia. Tidak berlebih, bila dikatakan figur baru yang didukung dengan visi dan program yang praksis akan berpengaruh besar pada kehidupan umat beragama di negara ini. NU yang lahir dan berkembang dari pesantren merupakan aset bangsa yang amat besar potensinya, apalagi mengingat bangsa kita tengah didera berbagai problem yang kompleks. Tentunya, harapan besar dipanggulkan kepada NU untuk bisa menunjukkan karyanya serta partisipasinya dalam memperkukuh demokratisasi yang sudah menjadi tuntutan utama dalam membangun bangsa dan negara”.

Dalam konteks eksistensi Pesantren NU dan para kiainya, tidaklah mengherankan apabila sejak Rezim Orde Baru hingga Era Reformasi sekalipun, peran kiai menjadi sorotan penting, khususnya saat mendekati pelaksanaan Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota Legislatif maupun Pemilihan Kepala-kepala Daerah. Intensitas kunjungan elite politik ke pesantren untuk sekedar sowan kepada kiai menjadi lebih sering.

Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi menjadi contoh konkrit, ketika dihadapkan pada dua pilihan untuk menerima “pinangan” Megawati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ataukah Wiranto dari Partai Golkar yang akan menempatkan pada posisi calon wakil presiden. Begitu pentingnya otoritas seorang kiai, walaupun hanya menjadi orang nomor dua, mengingat Hasyim Muzadi adalah pimpinan umat warga Nahdliyyin.

Posisi kiai menjadi penting dalam menjaring perolehan suara atau vote gaters, karena kiai memiliki otoritas dan memiliki umat yang banyak. Paling tidak dalam kalkulasi instan oleh para elite politik bahwa peran kiai akan sangat menguntungkan.

***
Sejarah mencatat, keterlibatan kiai dalam politik secara nasional, ketika NU yang berdiri tahun 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan berubah menjadi partai politik tahun 1952. Ia memisahkan diri dari federasi Masyumi, langsung ikut terjun pada Pemilu 1955, dan meraih kedudukan tiga besar (45 kursi DPR) setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Pada Pemilu 1971, Partai NU masih menunjukkan kekuatannya. Meraih 58 kursi DPR di bawah kehebatan dominasi Golkar yang meraih 252 kursi DPR. Sedangkan PNI, pemenang Pemilu 1955, sangat terpuruk. Hanya mendapat 20 kursi saja (dari 57 kursi Pemilu 1955).

Saat rezim Orde Baru berkuasa, peran kiai dalam kancah politik sempat menyurut dengan dikeluarkannya kebijakan NU untuk “kembali ke khittah”. Secara garis besar Kembalinya ke Khittah NU menyebutkan, "Sebagai Jam'iyah, NU secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan mana pun. Dalam Hal warga NU menggunakan hak politiknya, penggunaannya harus secara bertanggung jawab, sehingga dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama."

Seiring dengan reformasi yang ditandai jatuhnya rezim Orde Baru, kiai NU kembali tertarik dalam percaturan politik nasional demi menyalurkan aspirasi warganya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak terbendung lagi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB yang menandai kebangkitan kiai NU dalam kehidupan berpolitik. Tidak tanggung-tanggung perolehan suara PKB dalam Pemilu 2004 menandai kebangkitan tersebut.

Namun, lagi-lagi realitas politik ternyata menggoyahkan otoritas kiai, manakala kiai harus melakukan persekongkolan dengan penguasa dan elit politik. Kiai mengambil peran sebagai pelegitimasi kekuasaan dengan nilai tawar tertentu yang saling menguntungkan.

Dalam konteks yang demikian, kiai sebagai pemegang legitimasi agama menjadi faktor yang sangat kuat untuk dapat mempengaruhi tindakan sosial politik dan kemasyarakatan yang ujungnya dimanfaatkan oleh pihak penguasa dan elite politik untuk melegalkan kepentingan-kepentingan duniawi mereka.
 
Kiai dan pesantren menjadi terjebak dalam hegemoni kekuasaan, seolah-olah penguasa mampu menjadi penyelamat dan menjawab setiap permasalahan kiai dan pesantren, padahal sebenarnya hanya kepentingan agar kiai dan pesantren turut serta dalam melanggengkan suatu kekuasaan.

***
Menurut KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus : “Fungsi kiai sebagai salah satu alat kontrol kekuasaan, maka setiap pemuka agama seharusnya memiliki integritas tinggi. Karena integritasnya itu, pengaruh mereka menjadi lebih kuat dari kekuasaan yang dihadapi, tapi di sisi lain tidak membuat kekuasaan menjadi mandul dan kontraproduktif karena tekanan pemuka agama”

Kiai yang memiliki integritas paling tidak kiai yang mau secara terus menerus melakukan kajian ulang tentang tradisi pesantren, yang tidak melupakan sejarah awal pendirian pesantren, yang ternyata mampu berdiri sendiri baik secara ekonomi dan pendidikan, tanpa bantuan siapapun.

Mungkin layak disimak, ungkapan para pendukung Gus Mus untuk tidak terjun ke kancah politik praktis : "Tempat kiai di pesantren. Membangun peradaban di kantong-kantong pedesaan." "Ngapain jadi pejabat? Masih merasa kurang drajat, semat, pangkat? Masih kurang hangat tinggal di lingkungan sosial yang paling ramah di pesantren? Di desa?"

Membangun kharisma bukanlah perkara mudah dan memerlukan proses yang sangat panjang, tetapi menghancurkanya dapat dilakukan setiap saat.